Jumat, 13 Mei 2016

Demokrasi



Saya mencintai demokrasi. Tapi karena saya rakyat, saya tidak kelihatan sebagai pejuang apalagi pahlawan. Nama saya tak pernah masuk koran. Potret saya tak jadi tontonan orang. Saya hanya berjuang di lingkungan RT gang Gugus Depan.

Di RT yang saya pimpin itu, seluruh warga pro demokrasi. Mereka mendukung tanpa syarat pelaksanaan demokrasi. Dengan beringas mereka akan berkoar kalau ada yang anti pada demokrasi. dengan gampang saya bisa mengerahkan mereka untuk maju demi mempertahankan demokrasi. Semua kompak kalau sudah membela demokrasi. Hanya salahnya sedikit, tak seorang pun yang benar-benar mengerti apa arti demokrasi.

" Pokoknya bagus. Sesuatu yang layak diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Sesuatu yang memerlukan pengorbanan besar. Sesuatu yang menunjang suksesnya pembangunan menuju ke masyarakat yang adil dan makmur. " kata mereka.

Saya kira itu sudah cukup. Saya sendiri tak mampu menerangkan apa arti demokrasi. Saya tidak terlatih untuk menjadi juru penerang. Saya khawatir kalau batasan-batasan saya tentang demokrasi akan di salah gunakan. Apalagi kalau sampai terjadi perbedaan tafsir yang dapat menjadikannya kemudian bertolak belakang, atau mungkin karena saya tidak benar-benar tahu apa arti demokrasi.



Pada suatu kali, RT kami yang membentang sepanjang gang Gugus Depan dapat kunjungan petugas yang mengaku datang dari kelurahan. Pasalnya akan di adakan pelebaran jalan. Sehingga setiap rumah akan di cabik dua meter. Petugas itu menghimbau, agar kami seperti juga warga yang lain, merelakan kehilangan itu demi kepentingan bersama.

Warga kami tercengang. Kok enak saja ngambil dua meter demi pembangunan. Pembangunan siapa ? Bagaimana kalau rumah kami hanya enam meter kali empat, kalau diambil dua meter kali enam rumah hanya akan cukup untuk gang. Kontan kami tolak, bagaimana bisa hidup dalam gang dengan rata-rata 5 orang anak?

" Tapi ini sudah merupakan keputusan bersama, " kata petugas tersebut.

Kami semakin tercengang saja. Bagaimana mungkin membuat keputusan bersama tentang rumah kami, tanpa rembukan dengan kami. Seperti raja Firáun saja.

" Soalnya masyarakat di sebelah sana," lanjut petugas itu sambil menunjuk ke kampung sebelah, " Mereka semuanya adalah karyawan yang aktif di pabrik tekstil, semua memerlukan jalan tembus yang bisa di lalui kendaraan, dengan di fungsikannya gang Gugus Depan ini menjadi jalan yang bisa di lalui kendaraan bermotor maka mobilitas warga yang hendak masuk ke pekerjaan atau pulang akan lebih cepat, angkot dan bajaj akan bisa masuk dan itu merupakan sumbangan pada pembangunan, dan pembangunan itu akan di nikmati juga oleh kampung sebelahnya karena sudah di perhitungkan masak-masak. "

" Diperhitungkan masak-masak bagaimana? kami tidak pernah ditanya apa-apa? tanah ini milik kami!" bantah saya.

Tak lama kemudian, sejumlah warga dari kiri dan kanan kami datang. Mereka menghimbau agar kami mengerti persoalan mereka. Mereka mengatakan dengan sedikit pengorbanan itu, ratusan kepala keluarga dari kiri kanan kami akan tertolong. Mereka menggambarkannya sebagai perbuatan yang mulia. Setelah menghimbau mereka mengingatkan sekali lagi, betapa pentingnya pelebaran jalan itu. Setelah itu mengisyaratkan betapa tak menolongnya kalau kami tak menyetujui usul itu. Dan setelah itu mereka mewanti-wanti, kalau tidak bisa dikatakan mengancam. Kalau pelebaran jalan itu tak dilaksanakan, sesuatu yang buruk akan terjadi.

Kami terjepit diantara kepentingan banyak orang. Belum lagi kami sempat bikin rapat untuk melakukan perundingan, pelebaran jalan itu sudah dilaksanakan. Tanpa minta izin lagi, sebuah buldozer muncul dan menggaruk dua meter wilayah RT kami. Warga kami panik, mereka melawan. Tetapi baru hendak buka mulut, tiba-tiba kelewang mendarat di pundaknya. Ia terpaksa dilarikan erumah sakit. Untung saja tidak lewat. Barangkali pembacoknya memang tidak berniat membunuh, hanya kasih peringatan saja.





Saya bingung, akhirnya setelah putar otak, saya beranikan diri mengunjungi direktur pabrik tekstil, majikan warga yang menginginkan jalan pintas itu. Susah sekali, baru setelah mengaku petugas kelurahan, akhirnya saya di terima.

Direktur itu kaget setelah mengetahui saya adalah korban penggusuran. Tetapi ia cepat tersenyum ramah, lalu mengguncang tangan saya. Begitu saya semprot bahwa kami tak sudi di pangkas, dia bingung. Kepalanya geleng-geleng seperti tak percaya. Lalu ia memanggil sekretaris, setelah berunding bisik-bisik, ia kembali memandang saya seperti orang stress.

" Demi Tuhan, saya tidak tahu ini. Saya minta maaf. Saya tidak memperbolehkan siapa saja membuat tindakan-tindakan pribadi atas nama perusahaan. Para karyawan sudah di beri uang transport. Kalau mereka memerlukan jalan pintas, mungkin karena mereka ingin menyelamatkan uang transport itu. Itu diluar tanggung jawab perusahaan. Pelebaran jalan itu bukan inisiatif dan bukan tanggung jawab kami. Saya minta maaf, saya mohon bapak menyampaikan rasa maaf saya kepada seluruh warga," katanya dengan sungguh-sungguh.

Saya mulai marah. Saya tak percaya apa yang dikatakannya. Saya siap untuk meledak. Tetapi ketika dia mengulurkan kepada saya sebuah amplop coklat yang tebal, saya tiba-tiba tak mampu bicara. Apalagi ketika saya baca di atas amplop tertera tulisan 25.000.000. Dua puluh lima juta. Ya Tuhan banyaknya.





Saya tertegun. Saya tak menanyakan lagi isi amplop itu. Untuk apa 25 juta itu. saya hanya menerimanya, lalu menyambut uluran tangannya. Lantas terbirit-birit pulang. Saya ambil jalan belakang sehingga tak seorang warga pun tahu saya barusan datang dari rumah direktur.

Ketika para warga gang Gugus Depan kembali mendatangi saya untuk merembuk tindakan apa selanjutnya, saya memberi wejangan.

" Memang berat kehilangan 2 meter dari milik kita yang sedikit. Tetapi itu jauh lebih baik dari pada kita kehilangan nyawa. Lagipula semua itu untuk kepentingan bersama. Suara terbanyak yang harus menang. Sebagai penganut demokrasi, kita tidak boleh dongkol karena kalah. Itu konsekuensinya mencintai demokrasi. Demi demokrasi, kita harus merelakan 2 meter tanah kita untuk pelebaran jalan yang menunjang pembangunan ini."

Seluruh warga yang saya pimpin tak menjawab. Kalau atas nama demokrasi, mereka relakan segala-galanya. Lalu mereka pulang. tetapi sejak itu, semuanya benci kepada demokrasi.

" Kalau memang demokrasi tidak melindungi kepentingan pribadi, kemi berhenti menyokong demokrasi. Sekarang kami menentang demokrasi," kata mereka serentak.

Yah ... sejak malam itulah, warga RT Gugus Depan yang saya pimpin menolak demokrasi. Hanya saya sendiri, yang tetap berdiri disini. Teguh dan tegar. Tidak goyah oleh topan badai. Tidak gentar oleh panas dan hujan. Saya tetap kukuh berdiri tegak diatas kaki saya, siap mempertahankan demokrasi, sampai titik darah penghabisan.

Habis mau apalagi.
Siapa lagi kalau bukan saya?

1 komentar:

  1. Halo Bos! Selamat Datang di ArenaDomino.com
    Arenadomino Situs Judi online terpercaya | Dominoqq | Poker online
    Daftar Arenadomino, Link Alternatif Arenadomino Agen Poker dan Domino Judi Online Terpercaya Di Asia
    Daftar Dan Mainkan Sekarang Juga 1 ID Untuk Semua Game
    ArenaDomino Merupakan Salah Satu Situs Terbesar Yang Menyediakan 9 Permainan Judi Online Seperti Domino Online Poker Indonesia,AduQQ & Masih Banyak Lain nya,Disini Anda Akan Nyaman Bermain :)

    Game Terbaru : Perang Baccarat !!!

    Kini Hadir Deposit via Pulsa Telkomsel / XL ( Online 24 Jam )
    Min. DEPO & WD Rp 20.000,-

    Wa :+855964967353
    Line : arena_01
    WeChat : arenadomino
    Yahoo! : arenadomino

    INFO PENTING !!!
    Untuk Kenyamanan Deposit, SANGAT DISARANKAN Untuk Melihat Kembali Rekening Kami Yang Aktif Sebelum Melakukan DEPOSIT di Menu SETOR DANA.

    BalasHapus